Minggu, 22 Juli 2012

Guyon Cak Nun di Serambi Masjid Klaten (22 Februari 2012)

Kami datang jam 20.30 WIB, dan seperti layaknya acara di Indonesia…acara belum mulai, masih sambutan2. Tetapi serambi sudah sangat penuh oleh jamaah. Akhirnya jam 21 kurang sedikit, cak Nun dan kyai Kanjeng naik ke panggung. Agak beda, kumis cak Nun sudah berbaur dengan warna keperakan. Uban. Ya, karena terakhir aku mendatangi acara Maiyahan cak Nun sekitar tahun 2005 an. Kalau di ADi TV sih sering.

Tapi kumis dan rambut yang mulai memutih itu, seolah berkata padaku “Bahkan tokoh yang kau kagumi dan sayangi pun akan berpulang dan kembali ke asalnya”. Ehem, bicara biologi sedikit, sebenarnya rambut manusia asalnya adalah putih. Pigmen melanin lah yang mengubahnya jadi berwarna gelap. Maka, ketika usia sudah mulai senja, melanin berkurang, dan warna rambut manusia tak bisa lagi ditipu. Cak Nun juga manusia, bukan?

Menolak Segala Bentuk Kekerasan?

Pertama kali yang disampaikan cak Nun, tentunya setelah Al Fatihah dan sholawat, adalah mengomentari tema dan judul yang tertera pada backdrop. Satu, Tabligh Nusantara. Cak Nun guyon pada panitia, ” Iki kalimat maksude opo?” Tabligh kok Nusantara. Lha kalau misal Kerbau Hitam jelas. Kerbau itu kata benda, hitam itu mensifati kerbau. Lha kalau Tabligh itu kata benda, nusantara itu “apa”-nya? (Hehe kursus editor dari master penulis karya puisi, essai, teater dan musisi…gratis lagi. Menunjang profesionalitas ke-editoranku).

Kata cak Nun lagi, ” Kok aku sering mendengar kata Nusantara, tetapi jarang mendengar Indonesia ya..? Pada mau mendirikan negara Nusantara apa? Tidak bangga sama Indonesianya…hmm mungkin ini saking bingungnya pada kondisi Indonesia ya, trus pada mencari pengalihan.”

Dua, tentang kalimat Menolak segala bentuk Kekerasan. Dengan logat Jogja yang kedjombang-djombangan, bapak kandung Noe “Letto” ini guyon lagi..”Lha kalo menolak segala bentuk kekerasan Ra ono sing metheng kowe (Tidak ada yang hamil nanti kamu). :-) Daging itu sifatnya lembek, tulang itu keras, lha kalo yang “itu” bisa keras bisa lembek. Nah kalau menolak semua bentuk kekerasan…mana bisa hamil kamu. Wkwkwkwkw, bener juga ya.

 Istilah kekerasan yang sering didengung-dengungkan saat ini dikatakannya salah kaprah. Asal katanya berasal dari bahasa Inggris ” Violence ” yang lebih tepat jika diterjemahkan sebagai “kekejaman” . Kalau dikatakan menolak segala bentuk kekerasan, pria asli Djombang ini tidak setuju. Karena menurutnya keras itu perlu, sangat perlu bahkan…asal berada pada tempatnya. “Lha nek anakmu ndughang sirahmu opo  yo arep klemah klemeh wae? Yo ora, diseneni ora popo!” (Kalau anakmu menjejak kepalamu, mas ya akan letoy aja_susah cari terjenah bahasa jawa yang kaya ini. Dimarahi tidak apa-apa!)

Kekerasan, imbuh Emha lagi, ada tingkatannya sendiri-sendiri. Kekerasan fisik, kekerasan terhadap harga diri, dan kekerasan terhadap martabat. Kekerasan fisik itu justru tingkatnya paling ringan. Coba, pilih mana ditampar pipimu atau diludahi lalu diumpat-umpat (Saiki lara endhi, dikampleng raimu opo diidhoni karo dipisuhi?!). Pasti lebih sakit jika dipisuhi. Sakit fisik bisa cepat hilang, tapi kekerasan yang melukai hati, sulit sembuhnya. Kekerasan yang lebih tinggi adalah kekerasan martabat. Misal kamu seorang istri yang dinikahi dengan akad cinta, tetapi di depan umum diumumkan sama suamimu kamu bukan istrinya. Sakit tidak? Pasti sangat lebih sakit daripada ditampar. Jadi kekerasan (dalam konteks violoence) itu terjadi jika perbuatan dikerjakan tidak berada di tempatnya. Lebih bersifat ruhaniyah. Keras itu perlu jika pada tempatnya.

Menanggapi pertanyaan seorang jamaah tentang tema kekerasan tersebut , suami Novia Kolopaking ini menjawab bahwa ada upaya-upaya dari luar yang ingin agar rakyat Indonesia terpecah pecah. Mereka TAKUT jika rakyat ini bersatu. Karena Indonesia itu unik, beragam, dan jika bisa tetap rukun dan bersatu….TIDAK ADA YANG BISA MENGALAHKANNYA! Gemuruh tepuk tangan mengiringi teriakan lantang cak Nun.

Julukan tepat untuk Para Koruptor

Ada tebakan edukatif gaya fabel dari pimpinan pengajian Padhang Mbulan ini. “Orang sering melambangkan kalau koruptor itu seperti tikus. Menurut saya tidak tepat. Sifat tikus itu memang suka mencuri, tetapi dia tidak hidup di dalam habitat kita. Ia di luar. Padahal koruptor hidup di tengah-tengah kita. Nah, kalau misal koruptor dinisbahkan dengan kucing. Hmm. gak cocok…senengen kalau kucing. Sifat kucing memang  mau mencuri tetapi imejnya kucing masih bagus, binatang lembut, peliharaan, kalau sudah diberi makan tidak lagi mencuri. Padahal koruptor sudah dikasi makan, anggaran, tunjangan, fasilitas, mobil dinas, masiiih aja nyolong. Nah kalu misal diibaratkan anjing (cak Nun lebih mantap kalau menyebut kata “Asu” daripada Anjing), tidak cocok juga. Anjing itu memiliki sifat setia pada manusia. Itu kelebihan anjing. Anjing tidak mau mencuri, karena ia setia. Lha terus koruptor apa sebutannya?

Berarti dia manusia yang lebih tercela dari Asu, lha wong jadi Asu saja tidak lulus, nggak bisa setia. Berarti juga koruptor itu lebih rendah derajatnya dari Anjing. (CENSORED)

Banggalah jadi Orang Indonesia

Mengalun shalawat nabi dengan iringan musik yang syahdu…lalu nge-Jazz, nge-beat, trus ndandhutan. Keren!

Dari dulu kita ini bangsa yang hebat dan besar. Mana ada orang yang kaya  dengan senyuman seperti orang Indonesia? Orang kere saja masih bisa senyum di Indonesia. Coba, mana ada orang bisa kelaparan di sini. Gampang, kalo gak punya uang tinggal cari utangan, warung kek, tetangga, serba gampang di Indonesia. Kalo enggak ya lewat aja di acara kenduri atau selametan, bolak-balik aja di depan rumah…nanti pasti dipanggil. Lumayan.

Negara carut marut, utange sak gunung, tetap aja  kowe bisa tuku 76, nggo ngudhud to?  Dari segi bahasa saja, kita ini sangat lebih kaya. Coba, mana ada bahasa selengkap bahasa Jawa. kalau bahasa inggris jatuh iotu Fall…kalau arab “???(saya lupa_penulis)” lha kalau bahasa Jawa, apa terjemah jatuh? Pasti ditahan dulu pertanyaannya. Jatuh yang bagaimana? kalau begini (peragaan) namanya njungkel, nek begini namanya keplengkang, nek gini, nggledhak, nek gini ngglundhung, nek begini kejlungup…lha sugih to?  Mulakno banggalah jadi wong Jowo sing urip ning Indonesia. Tepuk tangan lagi.

Kiai Kanjeng sudah jalan ke Belanda di 12 kota. Di sana ternyata orangnya KANGEN dengan negeri kita. Padahal kita nggak pernah kangen sama mereka. Tiap sudut kota ada gamelan, tembang jowo, tari srimpi, angkringan, kroncong, dan sebagainya. Wis tenanan, kita ini bangsa yang sangat dirindukan oleh orang-orang di dunia. Lihat saja, sekarang eropa terancam bangkrut, Amerika krisis utang, rakyat Indonesia….tetep bisa tersenyum.

Makanya banyak pihak yang ingin kita ini terpecah belah. Karena dengan demikian rakyat Indonesia jadi lemah. Kalau kita rukun, yakin, tidak ada yang berani dengan rakyat Indonesia. kalau pemerintahnya, gampang…kemarin saja Obama “memaksa” SBY untuk beli Boeing lewat Lion Air. Tetapi rakyatnya, ndak berani mereka. “Lha wong orang Indonesia ki akh sing nganggur kok malah diwenehi perkoro. Utang raiso mbayar, duit ora duwe, gawean ra ono, kok diajak golek perkoro…lhaa seneng Biyyanget nho. Sisan ki, mati Syahid!! Darwis, modar yo wis!” Sopo sing wani coba?

Rehat_ dangdut shalawat tentang Ibu dilantunkan oleh mas Imam (sang bujang dari Kiai Kanjeng. Jejaka lajang ini, kata cak Nun, sampai disenangi malaikat, karena suara emasnya melantunkan shalawat Nabi dari Timur Tengah, Afrika, Amerika sampai Klaten)

NU ~ Muhammadiyah, Kisah cinta yang Indah

Tak lengkap rasanya jika tidak gayeng-gayengan dengan dua ormas terbesar di Negeri ini. Guton-guyon mengena dari cak Nun tentang dua suadara, satu cinta, beda cara ini senantiasa asyik untuk ditunggu. “Maaf bagi teman2 Muhammadiyah, kita memang senang bersholawat. Ini hanya sebagai bukti tresno kami pada Rasulullah SAW. Sholawat itu usianya jauh lebih tua dari NU atau Muhammadiyah sendiri. Jadi tidak masalah, mau sholawatan atau tidak, sholawat tetap ada.

Hanya beda cara, tapi satu tujuan. Kita sama-sama cinta Rasulullah dan menyembah gusti Alloh. Muhammadiyah kalau mengamalkan ajaran Rasul, akan jadi orang-orang berilmu. Orang-orang berilmu jika berkumpul kan menjadi kumpulan ulama yang bangkit berjuang- berarti Nahdhatul ‘Ulama (kebangkitan para Ulama). Ya to? Sedangkan jika ulama-ulama berjuang, mereka memakai cara Rasulullah, berarti Muhammadiyah (Jalan ajaran Muhammad). Ya to?

Hahaha, masalah kecil-kecil bisa jadi guyonan juga. Tentang rokok misalnya. Fatwa Muhammadiyah itu bagi orang Muhammadiyah juga tergantung mahzabnya. Mahzab Syafi’iyah, pasti tidak merokok. Syafi’iyah maksudnya Syafi’i Ma’arif. Sedangkan mahzab Malikiyah, maksudnya pengikut Malik Fadjar (mantan menteri pendidikan_pen) pasti merokok. Belum lagi kalau kita bicara ketua umumnya. Din…Syamsu…din. Nggak, aku Djarum wae!

Nggak Semua yang Arab itu Islam

Ceritanya diawali ketika orang-orang KBRI tidak sengaja menyikut tubuh polisi Saudi. Staff itu hampir dipenjarakan karena “terjadi kontak fisik” dengan polisi. Intermezo, tidak semua kontak fisik itu konotasinya jelek. Ada kontak fisik yang nikmat lho. Yo ora? hahaha, Imam (vokalis_kiai Kanjeng) merasakan penderitaan ki. Lha durung pernah . Kontak fisik suami istri itu malah bagus, masak iya suaminya cuma SMS trus istrinya hamil. Ya nggak mungkin to, makanya harus “kontak fisik”  :) . Guyon cak Nun lagi lho…

Kembali ke jazirah Arab. Setelah dilobi dan minta maaf secara serius, akhirnya staff tadi dilepas. Cak Nun yang jengkel kemudian mengerjai “aturan undang-undang” ra mutu tadi. Dengan gaya sedhakep Gogon Srimulat  ia ikuti polisi itu sampai ke Posnya. Tanpa suara, tanpa kontak fisik  hanya meng-Gogon saja. Polisinya heran, dongkol, dan nahan marah. Tapi aturannya kan tidak kontak fisik. Gak cukup sampai di situ, cak Nun mengajak teman2 staff KBRI lainnya untuk “balas dendam”.

Di depan pos polisi, cak Nun ngomong dengan bahasa Jawa kepada 8 orang polisi Arab yang sedang duduk-duduk. Staff KBRI hanya berani menonton dengan jarak aman. Cak Nun nyiyir  bilang,” Pancen polisine  ki As* , Baj***an kabeh!! dan kawan-kawannya. ” Setelah itu para staff KBRI mencobanya juga….hahaha, berhyasil-lah balas dendam yang tak seimbang itu. Mereka merasa menang. Padahal juga lawannya tidak merasa kalah. Lha wong nggak tahu ngomomg apa ini orang-orang Indonesiyyin. Dibilang baj***an malah mrenges itu polisi arab.

Lagi, jangan terkecoh dengan bahasa  dan wajah arab. “Kalau kalian pergi ke Mesir, jangan salah, mereka ngomong bahasa arab semua…kalau nggak tahu artinya mirip dengan doa orang pengajian. Masih di Mesir, ada lantunan ” Allaaaahu rabbi ssamaaawaati wal ardh...” mirip qiro’ah. Tetapi itu panggilan ibadah umat Kristen Koptik di Mesir. Hyaaa…mod**r ra kowe (ini kata cak Nun lho :D ). Pas di Syiria atau Libanon (saya lupa negaranya_pen), Kiai Kanjeng duduk bareng dengan umat Kristen yang mengaji Injil dalam tulisan Arab. Iramanya indah, mirip qiro’ah…tapi yang dibaca atas nama Bapa, bunda Maria dan Roh Kudus (dalam bahasa arab yang fasih). “Nah kalo kowe yang denger, pasti udah siap-siap mau bilang Allooooh. E’e ternyata ada roh kudusnya. Hyoo…soyo mo***r ora kwe.”

Gayeng-gayengan berlanjut. Cuma jemari saya sudah cukup letih untuk memencet tuts komputer lagi. Terlebih besok saya harus mengisi Training organisasi untuk teman-teman HASKA FMIPA UNY. Jadi sekarang kembali pada materi lagi. Saya singkat sampai di sini dulu ya. Maaf jika kata yang saya tulis kurang berkenan, aseli hanya ada maksud baik di sini. Bismillah wal hamdulillah. Semoga Alloh mengampuni.

                                                                                  ***

Sebait do’a dipanjatkan menandakan acara hangat itu segera usai.

“Kita semua di sini berharap pada sayang dan petunjuk Alloh. Siapapun kamu, apapun kamu, kaya-miskinkah kamu, tidak masalah jika semua itu jadi sarana untuk semakin dekat dengan-Nya. Alloh sang maha cinta. Dan salam rindu kepada kanjeng Nabi Muhammad. Semoga syafaat nabi dapat melingkupi kita semua yang ada di sini, malam ini. Semoga Alloh mudahkan segala urusan kita, limpahi kita dengan rezeki, dan curahkan keberkahan dalam hidup.

Alunan penutupnya adalah lantunan “Urip ning donya mung sedhela//Arep ngopo?//” Apik banget. Gemetaran dadaku mendengarnya. A must listen song.

Oleh: Misterluthfi a.k.a Mister L, seorang sarjana Pendidikan Sains yang menyukai implementasi Islam dalam sains dan sastra
Sumber: http://misterluthfi.wordpress.com

Sabtu, 21 Juli 2012

Zulfa Arifandhi: Kasan Kusen

Zulfa Arifandhi: Kasan Kusen: MUHAMMAD AINUN NADJIB Kasan Kusen Oleh Emha Ainun Nadjib* SESUDAH dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya da...

RESENSI BUKU ISBD


RESENSI BUKU

Judul Buku       : “ Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar”
Pengarang        : Pamerdi Giri Wiloso, dkk
Penerbit            : Widya Sari Press Salatiga
Tahun Terbit    : 2010
ISBN                : 978-979-1098-02-5
Tebal Buku      : 223 Halaman

Secara operasional, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) harus diambil dan dikuasai oleh setiap mahasiswa dalam rangka pembentukan kompetensi kesarjanaan yang berwawasan sosial budaya. Sehingga ketika berkarya mereka mampu berfikir kritis, kreatif, luas, sistemik-ilmiah, peka dan empatik secara sosial budaya, demokratis, beradap, serta terampil dan arif dalam mencari solusi pemecahan masalah sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan institusional tersebut maka dari itulah buku karya Pamerdi Giri Wiloso, dkk ini ditulis.
Dalam buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar ini disajikan dalam sepuluh bab yang ditulis oleh delapan penulis yang berbeda. Pada bab 1 tentang “Manusia Makhluk Membudaya” yang ditulis oleh Pamerdi Giri Wiloso yaitu seorang lulusan dari Universitas Twente, Nederland berisikan bahwa manusia sebagai makhluk Allah Sang Pencipta yang memiliki akal budi dan diberi hak istimewa  yaitu makhluk yang mampu mengolah realitas dengan segala akal budinya tersebut demi martabat kemanusiaanya. Sehingga manusia secara esensi merupakan makhluk yang membudaya.
Pada bab ke-2 mengenai “Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial” yang ditulis oleh Daru Purnomo yang merupakan seorang Magister Sains dalam Geografi Sosial di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada bab ini menekankan bahwa setiap menusia memiliki dimensi indeividualitas dan sosialitas (Veeger,1985: 4-9). Hakekat manusia secara pribadi pada dasarnya adalah hidup bersama, dan dalam kebersamaan itu akan menimbulkan ikatan dan kesalingtergantungan antara satu sama lain. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia sangat membutuhkan keberadaan orang lain dan menjalin intraksi melalui kontak dan komunikasi karena dorongan untuyk melakukan imitasi, sugesti, simpati, identifikasi.
Pada bab ke-3 mengenai “Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum” yang ditulis oleh Bambang Suteng Sulasmono seorang yang memiliki gelar Doktor dalam Pendidikan Kewargaan Negara di Universitas Negeri Malang, Malang. Dalam bab ini dibahas bahwa setiap kehidupan bersama memiliki nilai-nilai dalam menakar baik buruknya, penting tidaknya, layak tidaknya tidakan seseorang. Nilai sosial umumnya dirumuskan dalam bentuk norma yang dilengkapi sanksi, norma merupakan perumusan konkrit dari nilai yang abstrak  berisi serangkaian petunjuk hidup yang berisi perintah dan larangan dan dilengkapi sanksi bagi pelanggarnya. Dalam norma ada norma hukum yang bersifat memaksa yang diformulasikan secara jelas,tegas dan  diberlakukan oleh lembaga yang berwenang. Dalam sistem tata hukum Republik Indonesia memiliki hukum dasar sekaligus hukum tertinggi  yaitu UUD 1945.
Pada bab ke-4 mengenai “Manusia dan Peradaban” ditulis oleh Tomi Febriyanto seorang Megister Sains dalam Sosiologi dan Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dibahas bahwa kosep penting yang berkaitan dengan dinamika manusia dan kebudayaan adalah peradaban yang merupakan tahapan tertentu dari kebudayaan masyarakat tertentu yang telah mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pegetahuan, tekonologi dan seni yang telah maju. Peradaban terbentuk lewat perubahan sosial dan sebagai penanda akan peradaban yang paling mutakhir adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta proses globalisasi yang menyertainya.
Pada bab ke-5 mengenai “Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia” ditulis oleh Tri Kadarsilo, Dokterandus dalam Pendidikan Geografi Sosial di Universitas Satyawacana, Salatiga. Pada bab ini hakekatnya manusia mampu menciptakan dan menggunakan kebudayaan karena manusia adalah makhluk yang keaktifannya berwajah multidimensional, dan dengan cipta karsa rasa yang terbentuk manusia menciptakan dan menggunakan kebudayaan. Indonesia sebagai titik pertemuan dari berbagai macam ras memiliki pengelompokan kebudayaan suku dengan berbagai 15 kelompok suku dan dengan kebudayaannya masing-masing. Sehingga dalam praktek hidup keseharian, dibutuhkan prinsip pluralitas dan multikulturalisme.
Pada bab ke-6 mengenai “Manusia, Keragaman, dan Kesetaraan” ditulis oleh Suwarto Adi, Magister Sains (Kandiadat) dalam Studi Pembangunan Universitas Satya Wacana, Salatiga. Dalam bab ini individu yang menjalani hidup di tengah masyarakat, seorang manusia menjalankan fungsi dan peran membentuk identitas diri dan masyarakat. Keragaman sosial budaya pembawa dinamika perubahan yang berjalan cepat mesti dikelola secara demoktatis. Keragaman memunculkan problematika yang rumit, dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Dengan demikian keragaman mesti saling mengisi untuk membentuk sebuah kehidupan masyarakat yang demokrasi.
Pada bab ke-7 mengenai “Pluralitas Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia” ditulis oleh Pamerdi Giri Wiloso, berisikan sebagai sebuah identitas koletif, kebudayaan beraspek statis dan dinamis. Di Indonesia merupakan “perisimpangan lalu lintas arus gerak berbagai corak bangsa dan budaya” sehingga muncul persilangan kebudayaan. Dalam pengelolaan pluralitas kebudayaan di Indonesia harus berjalan secara demokratis, peretisipatonis, dan memberi kesempatan setiap warga negara untuk mampu mencapai suatu tingkat kesadaran bahwa Indonesia lebih luas dari lingkungannya sendiri. Hal yang demikian akan mampu membangun kesadaran kebudayaan daerah disamping kesadaran kebudayaan nasional, dan memperkokoh kepribadian daerah di dalam keanekaragaman kebudayaan Indoneisa.
Pada bab ke-8 mengenai “Manusia, Komunikasi, antara Budaya dan Globalisasi” ditulis oleh Dewi Kartika Sari, Sarjana Ilmu Komunikasi UNS, Surakarta. Pada bab ini berisikan bahwa dalam komukasi antar budaya yang terjadi antar orang–orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Dalam perbedaan ini penyesuaian diri harus terjadi diantara pihak yang berkomunikasi sehingga tercapainya tujuan kegiatan yang melibatkan interaksi tersebut. Era globalisasi akan muncul manusia informasi yang ditandai dengan pembentukan realitas ekonomi berbasis teknologi informasi, namun di tengah gencarnya arus terpaan media massa tetap saja bertahan sikap dimana satu komunitas budaya kesulitan memahami latar belakang komunitas budaya lain sebagai sesama peserta komunikasi lintas budaya.
Pada bab ke-9 mengenai “Kebudayaan IPTEK dan Globalisasi” ditulis oleh Daru Purnomo yang berisikan bahwa di era globalisasi ini semakin dipengaruhi oleh keberhasilan teknologi dan cara berfikir ilmiah. Ilmu sains yang mengobservasi alam materi, yang berupaya mencari hubungan alamiah berpola mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk menguji diri sendiri. Sebagi hasil penerapan sistematik sains untuk kepentingan praktis, teknologi mengalami pengorganisasian secara luas dalam ranah technostructure. Masuknya teknologi dan industri modern dapat mengganggu keseimbangan sosialitas dan individualitas manusia sebagimana mewujud dalam rasa frustasi dan alenasi eksistensi mereka.
Pada bab terakhir mengenai “Manusia dan Lingkungan” ditulis oleh Nick Tunggul Wiratmoko seorang Magister Sains dalam studi pembangunan di Universitas Satya Wacana, Salatiga. Pada bab ini berisikan dalam hubungan antara masyarakat beserta kebudayaan dengan lingkungan yang menghidupinya ternyata keduanya terlibat dalam hubungan dialetik. Manusia sebagi Imago Dei seharusnya mengelola dan memelihara bumi secara berkelanjutan. Dengan pertumbuhan pendduduk yang begitu cepat, akan muncul persoalan lingkungan. Hal itu harus ditangani dengan meninggalkan paradigma antroposentrisme dan beralih ke paradigma baru yang menempatkan manusia dalm relasi kesetaraan dan kesatuan dengan bumi yang dihuninya.
Selain memaparkan tentang materi Ilmu Sosial Budaya, buku ini juga disertai dengan lampiran yang berisi Tindak lanjut dari matri, tes formatif beserta jawabannya. Sehinga pembaca akan dapat memahami apa yang disampaikan penulis. Pada buku ini juga terdapat rangkuman dari masing-masing bab sehingga akan lebih mempermudah memahami konsep yang disampaikan penulis.
Salah satu kritikan untuk buku ini, penuliskurang mencantumkan ilustrasi atau gambar yang membantu mendeskripsikan materi yang sampaikan. Hanya pada bab ke-10 yang ditulis oleh Nick Tunggul Wiratmoko yang secara jelas memberi gambaran atau ilustrasi, sehingga pembaca akan semakin jelas dengan apa yang diuraikan oleh penulis.
Buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca terutama mahasiswa dalam rangka pembentukan kompetensi kesarjanaan guna ketika terjun di tengah masyarakat mereka mampu berfikir kritis, kreatif, luas, sitemik-ilmiah, peka dan empatik secara sosial budaya, serta terampil dalam memecahkan masalah sosial-budaya.

Kasan Kusen

MUHAMMAD AINUN NADJIB

Kasan Kusen

Oleh Emha Ainun Nadjib*
SESUDAH dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri Muhammad Rasulullah SAW diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahua’lam, ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang lain bilang ke Syria –sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di Pulau Jawa– tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.
Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam Husein sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya.
Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jamaah Syii di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. Sementara di pusat Islam sendiri, Arab Saudi –kerajaan yang didirikan oleh koalisi keraton Abdul Aziz dengan ulama Wahabi– konsentrasi emosional terhadap ahlulbait sangat dicurigai sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid’ah, yakni perilaku-perilaku budaya keagamaan yang diciptakan tidak atas dasar ajaran Nabi sendiri, sehingga dianggap mengotori kemurnian peribadatan Islam.
Semacam ”dendam sejarah” yang berasal dari tragedi Karbala itulah yang melahirkan soliditas sistem imamah dalam budaya keagamaan kaum Syii. Kepemimpinan dan keumatan dalam Syiah merupakan kohesi horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum Sunni. Seandainya di Indonesia orang mengatakan ”Gus Dur dengan 30 juta umat NU-nya” atau ”Amien Rais dengan 25 juta umat Muhammadiyahnya” –yang dimaksud adalah kaum Syii, maka tidak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan koalisi NU-Muhammadiyah dalam perpolitikan Indonesia.
Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar, dan Utsman dulu sebelum Ali. Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein. Orang Syii jengkel kepada ketiga khalifah itu karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, yang menguburkan hanya Ali, Aisyah, Fatimah, Abbas, dan seorang lagi pekerja penguburan. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman sibuk di Tsaqifah, ”KPU” yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi –tanpa memedulikan jenazah Nabi.
Bahkan, ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk memaksa menantu Nabi ini menandatangani pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Sayidina Hasan, kakak Husein, juga tak kalah sialnya. Pagi-pagi, ia disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan Muawiyah. Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya dan menemui ajal.
Dalam kandungan hati orang Syiah, memang tidak banyak orang menderita seperti Rasulullah Muhammad SAW: jenazah beliau belum diurus, orang-orang yang sangat dicintainya sudah ribut memperebutkan jabatan.
Nabi unggul dan sangat populer sepanjang sejarah, tapi rumah yang ia tempati bersama Aisyah istrinya hanya seluas 4,80 x 4,62 meter. Makhluk diciptakan oleh Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad –meskipun secara biologis ia dihadirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus– namun semasa hidupnya ia menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik ikat pinggangnya, dan waktu wafat masih punya utang beberapa liter gandum.
Manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah, namun Allah merelakan keningnya berdarah dilempar batu oleh pembencinya, mengizinkannya mengalami tenung sebelum menerima tiga surah firman-Nya. Tak ada kemewahan dunia apa pun melekat padanya. Bahkan, ia tak sanggup menolong Fatimah putrinya yang beberapa hari bersembunyi telanjang dalam selimut di kamar karena pakaiannya dijual Ali suaminya untuk bisa makan.
Muhammad dan keluarganya sangat disayang, bahkan dicintai dengan gelegak rasa perih, karena derita. Ia pun memilih karakter abdan nabiyya, nabi yang rakyat jelata, dan menolak ditawari Allah menjadi mulkan nabiyya, nabi yang raja diraja.
Allah menawarinya jabatan raja agung dengan kekayaan berupa gunung emas –yang ternyata memang sudah disediakan oleh-Nya, di wilayah antara Madinah dan Mekkah, yang hari ini menjadi cadangan kekayaan Arab Saudi, di samping tambang minyak temuan baru di perbatasan Saudi-Yaman yang hari ini bisa menjadi sumber konflik antara kedua negara. Sebab, jika Yaman menguasai sumber minyak itu, karena daerah geografisnya lebih rendah, maka minyak Saudi di perut bumi akan terserap olehnya.
Rasulullah pernah bersabda bahwa kelak kaumnya akan mengalami kekalahan dan hidup dalam kehinaan, karena ”hubbud dunya wa karohiyatul maut” –kemaruk pada harta dunia dan takut mati.
Wallahua’lam. Dalam hal maut, mestinya kaum Syii lebih memiliki etos dan kesadaran spesifik, karena riwayat Ali, Hasan, dan Husein yang mereka tokohkan. Maut dan derita Husein adalah sumber tenaga sejarah. Kematian Husein bukan balak atau tragedi, melainkan kebanggaan yang melahirkan kesadaran baru mengenai ideologi ”jihad” dan ‘’syahid”.
Jihad adalah persembahan total diri seseorang kepada kepentingan Allah melalui perjuangan kebenaran yang diyakini. Jihad membuat dunia menjadi kecil, remeh, dan tidak penting. Jika seseorang sudah terpojok, bedil musuh di depan dan kiri-kanannya, sementara kebuntuan di belakangnya, maka jiwa jihad menjadi menggelegak. Keterpojokan membuatnya bersyukur karena dunia, hedonisme, kemewahan, dan segala hiasannya sudah tidak punya makna lagi. Tinggal satu: Allah.
Jika Ia sendirilah yang merupakan tuan rumah dalam kehidupannya, maka kematian adalah sesuatu yang dirindukan. Maka, ia terus bersemangat untuk berperang. Bukan karena perang itu sakit atau nikmat, melainkan karena Allah memberinya jalan syahid tanpa hambatan dunia. Maka peluru musuh tidak dihindarinya, melainkan disongsongnya.
Karena itu, bisa dipahami tatkala pasukan koalisi kecele bahwa ternyata kelompok Syiah tidak begitu saja bisa diprovokasi untuk serta-merta mensyukuri kedatangan pasukan koalisi, hanya karena sepanjang hidup di Irak mereka ditekan oleh Saddam Hussein.
Akan tetapi, pada level kualitas perjuangan yang lebih tinggi, juga sangat disayangkan bahwa kaum Syiah tidak mampu secara kolektif meneruskan konsistensi etos jihad dan syahidnya sampai ke tingkat substansi yang lebih berkemuliaan. Ketika mereka melakukan pawai ke Karbala untuk mengekspresikan rasa cinta Husein, yang terjadi baru semacam pelampiasan bahwa kini Saddam penghalang mereka sudah tidak memiliki kekuatan.
Pawai itu tidak membawa mereka kepada nilai kepemimpinan dan perjuangan yang lebih tinggi yang menyangkut: (1) Nasionalisme Irak tanah persemayaman mereka, (2) Martabat bangsa-bangsa Timur Tengah, juga (3) Harga diri kaum muslimin di hadapan fundamentalisme Bush.
Pawai Karbala hanya menyampaikan kaum Syiah pada keperluan lokal kaum Syiah sendiri. Peta yang tergambar hanya kekuasaan Saddam dan eksistensi kaum Syiah di Irak. Padahal, sesungguhnya mereka kini berada dalam posisi yang relatif sama dengan Saddam dan negara-negara Arab lainnya, dalam konteks adikuasa Amerika Serikat.
Bush barusan menyatakan bahwa minyak Irak bukanlah milik Saddam dan keluarganya. Sesungguhnya Bush utamanya sedang berkata kepada monarki Arab Saudi: minyak di Saudi bukanlah milik Raja Saudi beserta para amir dan keluarga serta keluarga kerajaan. Bersiaplah pada suatu hari wacana itu akan diaplikasikan. Kerajaan Arab kini berada dalam ketakutan yang mendalam: Raja Fahd sudah hampir terkikis kesehatannya, Fahd yang menggenggam de facto kekuasaan sudah berumur 84 tahun, beberapa pangerannya sakit kaki.
Sejak 1980, Arab mengizinkan tanahnya menjadi salah satu pijakan kekuatan militer Amerika Serikat. Kerajaan mendapat jaminan bahwa keluarganya tak akan diutik-utik. Silakan ambil Irak, Suriah, atau mana pun, asal keluarga Saudi tidak diganggu. Kalau perlu, apa boleh buat, Mekkah dan Madinah dikuasai, asalkan kerajaan tetap selamat. Tapi, siapakah yang menjamin keselamatan eksistensi keraton Saudi tanpa ia sendiri membangun kekuatan di dalam dirinya? Apakah Amerika Serikat menjamin keamanan mereka, meskipun rudal-rudal Patriot milik Kerajaan Saudi di-”infak”-kan kepada pasukan koalisi untuk dipakai menghancurkan Irak, saudaranya sendiri, pada peperangan Maret-April kemarin?
Kekuasaan Saudi tak usah dibayangkan akan sanggup melindungi Mekkah dan Madinah. Tidak mustahil, dua sampai lima tahun lagi, keluarga Kerajaan Saudi tak akan sanggup mempertahankan eksistensinya dari gejolak dan pemberontakan rakyat Saudi yang sudah benar-benar sangat bosan hidup dalam situasi kenegaraan yang tanpa rasionalitas, tanpa demokrasi, tanpa kebudayaan, tanpa tradisi ilmu, tanpa etos-etos modern, dan sepertiganya kini menjadi penganggur, tidak terbiasa bekerja keras, jualan sayur saja gagal.
Kemarin saya mendatangi tumpukan batu tinggi kokoh bekas benteng pertahanan keluarga Yahudi Kaab bin Asraf di kota Madinah. Rasulullah sebelumnya telah mengumpulkan semua segmen masyarakat Madinah untuk bersama-sama menandatangani Piagam Madinah –etika masyarakat plural. Namun, Kaab melanggar perjanjian itu. Terjadi peperangan, Kaab kalah. Dan di milenium III abad ke-21 ini, Kaab akan hadir kembali mengambil Madinah.
Jadi, masalahnya bagi kaum Syiah bukan sekadar bagaimana mereka mendapatkan kemerdekaan hidup di Irak, karena sesungguhnya sekadar di Irak pun, pasca-Saddam, kemerdekaan kaum Syiah itu juga semu. Peta Timur Tengah dan dunia sudah berubah total. Konflik Sunni-Syiah seharusnya sudah menjadi sekunder. Kalau orang Syiah memukul-mukul dada mereka, merintih-rintih, menangis, dan memekik-mekik –konsentrasi keperihan itu kini tidak lagi an sich derita Sayyid Husein belasan abad yang lalu.
Kasan Kusen –demikian masyarakat santri tradisional Jawa menyebut nama kedua cucu Nabi itu– abad ke-21 tak kalah menderitanya. Mereka tak hanya dicacah-cacah tubuhnya dan dipenggal kepalanya. Mereka bahkan dirudal, dibom, dimusnahkan, disirnakan, diinjak-injak harga diri kemanusiaan dan martabat kebangsaannya, bahkan dirampok hartanya secara terang-terangan.
*Budayawan
[KolomGATRA, Nomor 24 Beredar Senin 28 April 2003]

kawin kontrak


Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lain, yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis kedua manusia tersebut saja, tetapi pada umumnya dapat dikatakan, menyalurkan kebutuhan biologis merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, baik dengan keinginan mendapat anak keturunannya sendiri, maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama tersebut. Dengan demikian sejak dulu kala hubungan pria dan wanita dalam perkawinan telah dikenal, walaupun dalam sistem yang beraneka ragam, mulai dari yang bersifat sederhana sampai kepada masyarakat yang berbudaya tinggi, baik yang pengaturannya melalui lembaga-lembaga masyarakat adat maupun dengan peraturan perundangan yang dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta ketentuan-ketentuan yang digariskan agama.
Manusia adalah mahluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan oleh Allah dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Allah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya. Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan tidak hanya dilakukan oleh manusia, tetapi hewan bahkan juga tumbuhan.
Di Indonesia perkawinan diatur dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, pasal 1 dirumuskan pengertian perkawinan yaitu ikatan lahir batin diantara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin khususnya dalam rangka melanjutkan atau meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Perkawinan bukan saja merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan suatu ikhtiar lahir batin antara seorang pria dan wanita.
Di Indonesia perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya yang merupakan dasar dari sebuah perkawinan yang sah adalah sah menurut hukum dan sah menurut agama. Namun kenyataannya dalam perkembangan masyarakat sekarang ini ada yang menyalahgunakan perkawinan dengan melakukan kawin kontrak. Istilah kawin kontrak menggambarkan suatu perkawinan yang dilakukan berdasarkan kontrak yang berisi perjanjian untuk hidup bersama sebagai suami istri dalam jangka waktu tertentu dengan adanya imbalan.
Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, walaupun kawin kontrak tidak diatur secara khusus karena kawin kontrak merupakan fenomena baru dalam masyarakat. Tujuan dari kawin kontrak adalah untuk menyalurkan nafsu birahi tanpa adanya keinginan untuk hidup bersama dan membentuk rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bahkan terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan, hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan perkawinan. Kawin kontrak sangat bertentangan dengan hukum agama Islam, Undang-Undang Perkawinan, dan dianggap buruk oleh masyarakat secara umum.